Hina Nabi Muhammad, Bisnis Hotel Inggris Bangkrut
LIVERPOOL (Berita SuaraMedia) – Dua pemilik hotel beragama Kristen yang dibebaskan dari tuduhan menghina seorang tamu Muslim tahun lalu terpaksa menjual bisnisnya karena bangkrut.
Ben dan Sharon Vogelenzang melelang hotel berkamar sembilan milik mereka di bulan Mei karena tidak lagi mampu membayar hipoteknya.
Terlepas dari donasi yang dikirimkan kepada mereka oleh para pendukung Kristen dari seluruh dunia, mereka masih memiliki hutang sebesar lebih dari 400,000 pound.
Mereka juga mempertimbangkan mengambil langkah hukum melawan polisi yang membawa kasus itu ke pengadilan.
Sharon, 54, mengatakan ia merasa sangat sedih bahwa hasil dari sebuah kasus yang tidak seharusnya masuk ke pengadilan akan membuatnya kehilangan semua yang ia miliki.
"Kami harus kemana setelah ini?" ujarnya. "Bagaimana kami harus memulai kembali?"
Pasangan itu menyaksikan bisnis mereka di Liverpool ambruk setelah sebuah penyelidikan atas apa yang diduga sebagai hate crime (kejahatan berlatar belakang kebencian) relijius terhadap Ericka Tazi. Mualaf Inggris berusia 60 tahun itu mengeluh bahwa pasangan tersebut telah mencemooh Nabi Muhammad sebagai panglima perang dan mengatakan padanya bahwa semua wanita Muslim adalah kaum yang tertindas.
Kasus melawan mereka ini dibatalkan setelah seorang hakim di pengadilan Liverpool menyatakan bahwa itu adalah kebebasan ekspresi relijius mereka.
Setelah kemenangan itu, pasangan tersebut berharap dapat menghidupkan kembali Hotel Bounty House yang telah mereka bangun selama 10 tahun lebih.
Namun, empat bulan kemudian, mereka gagal menarik cukup pelanggan dan merugi hingga 8,000 pound tiap bulannya.
Salah satu sumber pendapatan utama mereka sebelum kasus itu adalah Layanan Kesehatan Nasional, yang menggunakan Bounty House untuk para dokter yang menghadiri konferensi, dan Walton Centre, bagian dari Rumah Sakit Aintree, yang mengirimkan sekelompok pasien terapi penghilang rasa sakitnya ke sana. Namun pusat terapi itu berhenti mengirimkan pasien-pasiennya ke hotel tersebut setelah muncul keluhan dari Tazi, salah satu pasien Walton Centre.
"Sebelum keluhan itu, kami adalah pilihan pertama mereka," ujar Sharon. "Namun tampaknya mereka kehilangan minat pada kami. Terlepas dari umpan balik positif yang kami terima di setiap akhir terapi, reputasi kami samasekali tidak diperhitungkan. Itu menyedihkan."
Pasangan itu masih marah kepada polisi atas cara kasus itu ditangani dan kini mereka sedang berkonsultasi dengan The Christian Institute, kelompok penekan independen yang membayar pembelaan keduanya, untuk melancarkan aksi hukum.
Pengacara meyakini bahwa mereka akan dapat mengklaim didiskriminasi karena latar belakang Kristen mereka.
Sharon menambahkan, "Banyak orang yang berpikir bahwa ketika kami menang di pengadilan, semuanya akan baik-baik saja. Realitanya, itu telah membawa kami pada kehancuran, jadi itu belum menjadi kemenangan samasekali." (rin/dm) www.suaramedia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar