Aljazair Rilis Fatwa Larangan Daging "Penyembah Berhala"



  ALGIERS (Berita SuaraMedia) – Impor daging Aljazair dari India yang mencapai 4,000 ton lebih menimbulkan kontroversi ketika sebuah fatwa dikeluarkan untuk melarang konsumsinya dengan alasan daging itu berasal dari "penyembah berhala".
Sheikh Shamseddin Bouroubi, yang terkenal akan sudut pandangnya yang kontroversial, mempublikasikan sebuah fatwa yang memperingatkan warga Aljazair agar tidak memakan daging dari India karena hewan-hewannya kemungkinan besar  tidak disembelih dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam.
"Konsumsi daging dengan metode penyembelihan yang tidak diketahui adalah dilarang,"  bunyi fatwa itu.
Penyembelihan secara Islam melibatkan pembiaran hewan untuk kehabisan darah agar dagingnya bersih dari darah dan nama Tuhan harus disebutkan sebelum memulai proses penyembelihan.
Bahkan jika terbukti hewan itu disembelih dengan cara Islam, fatwa itu menambahkan, dagingnya masih terlarang karena yang memiliki dan menyembelih hewannya bukan orang-orang beriman.
"Dagingnya berasal dari para penyembah berhala yang menyembah benda-benda selain Tuhan seperti sapi, burung, atau tikus," tulis Bouroubi di dalam fatwanya. "Mereka bukan monoteis atau orang-orang yang percaya pada kitab suci. Itulah mengapa daging mereka dilarang bahkan jika disembelih dengan cara Islam sekalipun."

Pada hari Rabu (4/8), surat kabar independen Aljazair, al Fadjr, mempublikasikan sebuah laporan dari World Assembly Muslim Youth, sebuah organisasi pendidikan Islam yang berbasis di Inggris, tentang daging India yang diekspor ke negara-negara Muslim.
Laporan itu merujuk pada peran yang dimainkan komunitas Muslim Ahmadiyah, yang juga disebut Qadiani, dalam bisnis daging itu.
Menurut laporan tersebut, komunitas yang sebagian besar berasal dari India itu menggunakan stempel palsu untuk menipu negara-negara Muslim agar mempercayai bahwa hewan-hewn itu disembelih dengan cara Islam.
Lebih dari 500 pakar dari seluruh dunia bekerja di dalam bisnis daging Ahmadiyah dan komunitas itu melakukan sebagian besar transaksinya di London.

Djahid Zefzef, General Manager dari Algerian Meat Packing Company, mengatakan kontroversi tentang daging India tidak terkait dengan cara penyembelihan Islami sebanyak perang antar importir daging.
"Sebelumnya kami telah mengimpor daging dari negara-negara non-Muslim dan tidak ada masalah," ujarnya. "Empat ribu ton daging India itu semuanya sesuai dengan standar internasional."
Mengenai kekhawatiran tentang kehalalan daging tersebut, Zefzef menekankan bahwa pemerintah Aljazair mengimpor daging itu dari rumah potong Muslim yang sah di India, terutama di negara bagian Maharashtra dan Uttar Pradesh.

Kontroversi tentang daging bukan yang pertama kalinya di Aljazair. Bulan lalu, perdebatan panas lain berlangsung saat Serikat Peternak Nasional Aljazair mengumumkan impor daging dari Sudan dan kekhawatiran timbul tentang kemungkinan dagingnya terinfeksi penyakit.
Beberapa otoritas keberatan dengan keputusan itu dan berpendapat bahwa impor itu bermotif politik berkat keramahan pemerintah Sudan terhadap tim sepakbola Aljazair dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Mesir.
Kesepakatan itu ditangguhkan sementara di tengah penyangkalan dari Kementerian Agrikultur bahwa mengimpor daging dari Sudan dilarang.

Menurut Kementerian, pemerintah Aljazair meminta otoritas agrikultural Sudan untuk menyediakan protokol keamanan yang dibutuhkan sebelum impor dimulai.
Krisis daging lain terjadi tahun 2004 ketika warga Algiers menemukan bahwa mereka menghabiskan separuh bulan Ramadan memakan daging keledai dan mengiranya sebagai daging sapi.
Di tahun 2007, warga Aljazair mengalami krisis terkait makanan lain ketika mereka menemukan bahwa kentang impor yang mereka makan awalnya akan dijual ke Kanada sebagai makanan babi. (rin/aby) www.suaramedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger